Minggu, 18 Agustus 2013

Cinta Damai

BILA ORANG BIJAK TAK MEMILIKI KEBIJAKAN
Fenomena yang sering kita lihat sekarang, tindakan kekerasan berupa perkelahian, tawuran, pemalakan, dan tindakan keras lainnya, kecuali kerja keras, menjadi pemandangan yang mengusik jiwa dan  merusak pikiran  karna dimotori oleh sebagian besar kaum intelektual.
Seperti yang dirilis di situs http://www.shnews.co/duniakampus/detile-1055-deklarasi-anti-kekerasan-solusi-baru-tawuran-mahasiswa.html, Mahasiswa UNM Kekerasan silih berganti menghiasi wajah dunia pendidikan. Tawuran antar pelajar hingga antar mahasiswa hampir tiap hari meletus di berbagai daerah. Mahasiswa seakan berlomba dengan adiknya, pelajar turuk baku hantam. Tawuran pelajar dan mahasiswa menjadi potret buram dalam dunia pendidikan Indonesia. Terjadi tawuran antara mahasiwa Fakultas Teknik (FT) dan Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar (UNM) di kampus UNM, Parangtambung, Makassar.
Sampai kapan ini akan begini, saya berani berkata sampai kapan pun. Banyak terdengar, bising mencekik sumsung tulang belakang, bahwa tindakan kekerasan ini memang sudah terkordinir termasuk di lingkup UNM.
Sampai kapan ini akan begini, saya berani katakan sampai kapan pun. Perdamaian adalah kata yang mudah diucapkan, tapi susah sekali untuk diamalkan. Hehehe, beginilah kata orang bijak yang tidak memiliki kebijakan.
Orang bijak di negara Indonesia tercinta bahkan di UNM ini cukup banyak. Contoh di Indonesia, ada Mario Teguh yang selalu mengatakan Super Sekali, tapi sayangnya tidak memiliki kekuasaan untuk mengambil kebijakan yang membuat masyarakat Indonesia menjadi super.
Tak diragukan lagi, di UNM banyak juga orang bijak seperti Mario Teguh yang sering mengatakan Super Sekali. Bahkan pada tindakan “Tawuran”. Sebagaimana yang ditulis di situs http://www.fajar.co.id/metromakassar/2638692_5662.html,  Aksi tawuran antar dua kelompok mahasiswa terjadi di depan kampus UMI, Selasa 21 Mei 2013, Mahasiswa mempersenjatai diri dengan membawa senjata tajam berupa parang dan busur. Belum diketahui pasti apa penyebab tawuran antara dua kubu mahasiswa ini. Menurut kesaksian warga, mahasiswa yang tawuran antara mahasiswa UNM dengan UMI. “Super Sekali”
Hal ini tak bisa dipisahkan dari kekerasan yang dialami ketika mahasiswa masih berstatus MABA (Mahasiswa Baru). Sampai kapan ini terus begini, saya berani katakan sampai kapan pun. Kalau kita tidak segera melakukan aksi nyata dalam “penindasan kaum penindas.”
Lihatlah bagaimana penindas kampus itu memperlakukan adik-adiknya. Parkir 50 ribu, 35 ribu, 5 ribu, atau 2 ribu  yang biasanya gratis jhi loh, penjualan stiker dengan cara memaksa dengan harga yang tinggi, pemalakan tanpa alasan, masuk diruang kelas MABA mempalakki. Mereka (Malam/ Mahasiswa Lama) tidak menyadari bahwa kelak MABA akan menjadi MALAM juga. Kekerasan ini yang akan menggangu perkembangan emosional pada MABA sehingga timbul rasa dendam, mental preman, dan kelompok/geng yang mereka salurkan melalui tawuran, pemalakan, dan demonstrasi tanpa solusi. Demikian kasus papalak-papalak intelektual ini berkisenambungan.
Hal ini akan berpengaruh  terhadap mahasiswa baru, karena kondisi tindak kekerasan tersebut menjadi model bagi perilakunya nanti apabila ia merasa dendam. Hal ini akan makin cepat terstimulasi jika dukungan atau atmosfir kampus dalam cinta damai tidak mendukung. Demikian Menurut Prof. Jufri, Seorang Guru Besar Fakultas Psikologi UNM saat ditanya melalui telepon seluler.
Apakah kita akan mempertegas sampai kapan pun ? Saya rasa tidak, perih mata hati ini merasakan generasi bobbrok ini. Solusinya adalah sinergitas antara birokrat, mahasiswa, serta semua elemen terkait.  Ya mengambil kisah dari avatar, bahwa satu elemen saja tidaklah cukup.
Penyatuan elemen ini, tentu merupakan keputusan para birokrat dengan cara birokrasi menyatukan semua mahasiswa berprestasi dan tidak berprestasi, mahasiswa berlembaga dan tidak berlembaga di kemahasiswaan. Masing-masing elemen bekerjasama dalam memberikan kepada maba perlindungan bukan penindasan. Bahkan bisa dimulai pada saat pendaftaran dan pengujian seleksi menjadi MABA.
Di UNM kita punya organisasi kemahasiswaan yang bernama Resimen Mahasiswa, harusnya ini di fungsikan secara maksimal untuk memberikan kehangatan dan perlindungan kepada UNM serta menjaga nama lembaga sebagai resimen mahasiswa.
Lembaga mahasiswa yang seperti BEM dan  Himpunan. Bisa membantu mengkoordinir dan memberikan pengarahan kepada mahasiswa lama, bahwa berbuat “Palak” kepada MABA adalah suatu bentuk penindasan yang jauh dari kedamaian.
Peran lembaga lainnya atau organisasi eksternal kampus, kita bisa membagi tugas. Ada yang menjadi tukang parkir sementara dengan biaya yang mengikuti aturan pemerintah kota makassar, tentu saja Rp. 2.000 untuk motor. Tentu  harus diikuti dengan penjagaan keamanan yang terjamin. Jika gratis lebih baik, maka birokrasi mau membayarkan kepada Tim Pencinta Damai, atas jasa anggotanya.
Sebelum pembagian tugas ini dilakukan, untuk meyakinkan kepada lembaga kemahasiswaan, non lembaga, Mahasiswa berprestasi non berprestasi. Maka perlu mengadakan sosialisasi baik yang bersifat seminar gratis tentang “Kekejaman Penindas dan Kebaikan Cinta Damai”, Pembentukan Tim Pelindung MABA, Pemasangan Spanduk dan Panflet anti kekerasan di lingkungan UNM. Sehingga nantinya UNM bisa menjadi kampus yang benar-benar menjadi kampus yang dikenal bukan pada kekerasannya lagi, namun pada cinta dan damainya.
Sebagai penutup, mari kita membangun cinta pada kedamaian. Damai itu bukan Daeng Manai’, tapi damai itu muncul dari perasaan saling menghargai dari kita, lahir dari tatanan sosiokultural dalam persepsi bugis makassar, yaitu Siri’ na Pacce.  Dengan demikian kita bisa membuktikan pada bangsa Indonesia bahwa UNM turut menjaga kedamaian Negara Kesatuan Republik Indonesia.