MENCINTAI TANPA DICINTAI
SEPERTI LEBAH
Hari ini
merupakan hari yang terindah dalam hidupku dibandingkan dengan hari
sebelumnya. Ditulis di sekolah pukul 09.10
pagi. Saat Zain duduk di kelas XI IPA di MA SEJATI.
Seekor lebah memendam
perasaan cinta pada sang
bunga, pada hari ini pujangga pemendam perasaan
cinta pada pujaannya ingin menyatakan cintanya. Begitu kata hati Zain mengumpulkan segenap kekuatannya
untuk Yati.
Rasa ini telah
memaksaku meninggalkan hal-hal mengenai
ketinggian ingatan pada Tuhanku. Yaitu dzikir kepada-Nya setiap detik sampaiku
mati, bahkan menulis puisi untuk-Nya, sampai pada prinsip hidup untuk-Nya
semata, dan berusaha menyambung hidup untuk-Nya. Tetapi kini kau telah
mengalihkan ingatanku itu Yati.
Rasa ini,
bagiku mengkhianati diriku sendiri. Menyuruhku ingkar dari
perjanjianku bersama Tuhanku. Sang Pencipta penuh cinta yang selalu kucintai
dalam hidupku dan selalu meridhoi setiap langkahku. Rasa
ini kan menjadi lawan terberatku.
Menjadi musuhku tetapi dilain sisi menjadi
sahabatku.
Rasa ini
telah hilang, pergi entah ke mana. Harapanku, semoga cinta pada Tuhanku ini pindah ke dalam hatiku yang
paling dalam. Dan cinta kepadamu Yati, berada di hatiku juga tetapi di pinggirannya
saja, jangan sampai kau lebih dalam dan akhirnya nanti saya ditenggelamkan olehmu.
Rasa ini
seakan membunuhku namun kutetap lebih hidup dengan-Nya. Sesuatu yang selamanya
kekal dalam teori cintaku pada manusia. Akan tetapi dalam nyatanya ternyata
cinta kepadamu
Yati telah menggesernya.
Diriku ini
seakan terpisah pada jarak yang tidak terputus oleh apa pun, namun di dekatmu
terasa semakin jauh cinta kepada Tuhanku saat kau berada disisiku Yati. Bisik kata hati Zain
dengan nada peluh.
Diri ini, kurasakan gembira menyambut cintamu,
namun tidak pada malaikat pencatat amal baikku. Tetapi ku tak mampu juga
melawan godaan cinta remaja ini, hebatnya mampu menggangguku, merayuku, hingga
membodohkanku.
Penyesalan Zain yang tidak bisa disanksikan.
Raga ini, memancarkan cahaya begitu indahnya
waktu saya tetap bersama Tuhanku. Mengalahkan indahnya gemerlap emas yang
berkilauan. Akan tetapi cintamu lebih menuntunku menjalani hidup dalam rasa
ketagihan wangi tubuhmu sebagai ujian untuk mencapai kecintaan yang hakiki. Gumam Zain pada hatinya.
“Waktunya
jam istirahat!” Sound di sekolah membangunkan
lamunan Zain.
“Ah..,
sudah istirahat! Apa saja yang kita pelajari dari mata pelajaran fisika tadi
Murad? apa materi yang dijelaskan Ibu guru? Bisa kau jelaskan padaku?” Tanya
Zain pada teman sebangkunya.
“Kau
tadi memperhatikan, kenapa tanya padaku? kau kan jago Fisika. akh, kau ini
mengujiku ya? mau memperlihatkan kepintaranmu padaku?”. Jawab Murad.
“Tidak
Murad, saya betul-betul tidak mengerti pelajaran ini, tadi itu saya lagi
berpikir.”
“Tuh,
kau ini, sudah berpikir begitu, pasti kau tahulah.
“Yang
ku pikirkan bukan fisika, tapi…
“Tapi, ah pasti kau memikirkan mie siramkan di kantin.
“Iya, begitulah, ya sudahlah! Lupakan soal pelajaran
itu. Ayo ke kantin! Zain mengakhiri percapannya itu.
Zain
adalah seorang siswa yang rajin. Di kelas XI dia juga menjabat sebagai Ketua
OSIS sekaligus Ketua Kelas. Namun ia berwatak tertutup dalam hal kehidupan cintanya.
Ia
memendamnya, menganalisanya sendiri. Ia tidak mau dicap sebagai siswa yang
terlibat pergaulan bebas cinta-cintaan seperti remaja seusianya. Apalagi ia
merasa menjadi contoh bagi teman-temannya di sekolah.
Amanah
menjadi ketua OSIS dan Ketua Kelas bukanlah hal yang ringan, ia patut menjaga
diri, agar sebisa mungkin pergaulan bebas bisa dikurangi oleh teman seusia
dengan memberikan contoh pada dirinya. Itulah sebabnya walau kepadamurad yang
teman sebangkunya sejak kelas X, Zain tidak mampu memberitahunya.
“Waktunya
Jam ke 7!” Sound Sekolah.
Sebagai ketua kelas, Zain harus mengecek absen guru
yang akan masuk mengajar mata pelajaran selanjutnya.
“Murad,
saya ke kantor dulu mencari ibu. Kau di sini saja, jangan biarkan teman-teman
berkeliaran di luar kelas! nanti kepala sekolah marah kalau dia sampai melihat.
Catat saja namanya yang melawan.” tegas Zain kepadamurad.
“Siap
Bro!”
“Teman-teman
jangan ada yang keluar kelas ya?! kalau mau main-main di dalam kelas saja! yang
keluar saya catat namanya, kemudian saya berikan pada guru yang akan masuk, biar
ibu guru yang menghukum.”
“Ah…
pasti disuruh ketua kelas kau murad. Ketua semacam itu tegas sekali!” gerutu
teman-teman kelasnya.
“Di
kelas XII nanti kita jangan pilih dia lagi!. tidak baik, kita tidak bebas. Ia
kan teman-teman?! Ian mempropokatori.
“Iaa!
kamu saja Ian yang kami tunjuk, biar asyik bro! kan tidak ada yang nyatat,
jawab teman-temannya.
“Ada
kandidat saya, saya mau jadi asistennya saja. Kan yang mencatat asistennya, ketua
kelas kan sibuk mengurus guru yang akan masuk, mengabsen, dan menyiapkan spidol!
Jawab Ian.
“Tok..tok! Assalamu’alaykum.
“Bu,
saya ketua kelas XI IPA, ibu punya jam pelajaran di kelas kami!”
“Ia,
sini Zain! kau bawa buku ini, tulis di papan ya?! catat dari halaman 21 sampai
halaman 31. Kalau sudah selesai, bawa kesini lagi buku Ibu. Minggu depan ibu
jelaskan!” perintah bu Yeni
“Ibu
dulu belum menjelaskan apa yang kami tulis dari halaman 10 sampai 20 bu. Apa
tidak dijelasin yang itu dulu?”
“Oh,
iya ya! tidak apa-apa, nanti minggu depan saya jelasin sekalian.
“Baik bu, saya ke kelas dulu!” Zain memberi salam dan
berlalu.
Di perjalanan Zain selalu teringat dengan Yati yang
berbeda sekolah. “Apa kabar ya Yati? Apa dia udah makan tadi saat istirahat? atau
dia masih di kantin karena masih lapar dan gurunya tidak masuk di kelas? atau
dia lagi belajar karena gurunya lebih rajin dari guru saya di sini?.”
Sampai
di kelas, Zain lupa akan halaman berapa tadi yang disuruh catat oleh guru TIK
nya.
“Tok…tok…!
Sambil memberi Salam.”
“Teman
Kelasnya menjawab Salam.”
“Teman-teman,
Ibu tidak masuk kelas!”
“Hore…!!
asyik…! Kenapa tidak masuk? Seru teman kelasnya sambil menggenggam tangan tanda
rasa bangga.
“Kita
disuruh mencatat lagi teman-teman!”
“Ah…!
Sama saja. Tunggu dulu! yang minggu lalu belum dijelaskan oleh ibu, kenapa
disuruh mencatat lagi?! Sanggah teman kelasnya.
“Ia…
masa mencatat lagi?! Jelaskan dulu bro! tambah Ian.
“Kata
ibu, nanti sekalian minggu depan!”
“Baiklah,
kita mencatat halaman berapa?” lanjut teman kelasnya.
Suasana
jadi hening, Zain kebingungan mencari yang telah disuruhkan oleh ibu Yeni.
Lanjutkan pelajaran sebelumnya atau langsung masuk ke bab selanjutnya?” Teman kelasnya serentak bertanya.
“Zain,
yang mana yang harus kita catat? Tambah Ian. “Cepatlah kau tulis di atas!
Supaya kita juga cepat bisa pulang!”
“Tunggu dulu! saya lupa.”
“Ah,
Ketua kelas kita sudah mulai pelupa” mungkin terlalu banyak kegiatan.”
Tunggu! Mmm…! Yang mana ya?” gumam Zain dalam
kebingungannya. Ah..lupa! Murad, tolong tanya ibu Yeni dulu, yang kita catat dari
halaman berapa, saya lupa!”